ANDALPOST.COM — Sebuah terobosan baru dari Uni Eropa (UE) terbilang gagal dalam mencegah kasus kematian para pencari suaka yang menyeberangi Laut Mediterania dengan kapal berisi banyaknya manusia, Rabu (28/6/2023).
Terlebih pada 14 Juni lalu, lebih dari 500 pencari suaka diyakini telah tewas setelah kapal pukat mereka 47 mil (75 km) di lepas pantai barat Yunani tenggelam. Kapal tersebut bergerak dari Libya menuju Italia.
Seminggu sebelumnya, pemerintah UE mencapai kesepakatan awal tentang aturan untuk memproses aplikasi suaka dan pembagian beban suaka di seluruh blok.
Langkah tersebut merupakan hal penting dari pakta migrasi yang sedang dibahas selama delapan tahun terakhir.
Namun, kesepakatan itu hanya melibatkan bagaimana negara berbagi tanggung jawab ketika seseorang melintasi perbatasan luar.
Kesepakatan tersebut tidak membahas bagaimana mencegah penyeberangan dari negara-negara seperti Turki dan Libya yang berbatasan dengan UE.
“Harus ada keterlibatan berkelanjutan dengan negara ketiga, dan harus ada insentif bagi mereka untuk menerima orang kembali,” kata seorang pakar imigrasi yang mengetahui negosiasi tersebut.
Penandatangan Konvensi
Penandatangan Konvensi Jenewa tentang Status Pengungsi tahun 1951, termasuk Uni Eropa, dapat memberikan suaka kepada pengungsi atau mengembalikan mereka ke negara ketiga yang aman.
Diketahui, mengirim mereka ke tempat yang berisiko disebut refoulement.
“Banyak atau sebagian besar negara ingin memperkuat konsep ini. Juga telah disepakati bahwa kami akan kembali ke diskusi dalam setahun,” kata seorang diplomat Brussel yang terlibat dalam pembicaraan tersebut.
Secara teori, kebijakan negara ketiga yang aman akan diterapkan pada tahun 2026, ketika pakta migrasi mulai berlaku.
Hingga UE terlibat dengan negara ketiga untuk merundingkan persyaratan pengembalian.
Blok tersebut hanya memiliki sedikit pilihan selain menyelamatkan mereka yang berlayar di seberang lautan. Atau mereka yang kembali akan mendapatkan insentif.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.