ANDALPOST.COM – Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) akan bentuk satuan tugas (Satgas) untuk mengawasi media sosial guna meminimalisir polarisasi di tengah-tengah masyarakat pada tahun politik atau pemilu 2024 yang sudah tidak lama lagi.
Satgas ini bertugas melakukan pengawasan pada media sosial, mengingat medsos ini menjadi salah satu alat yang digunakan untuk menyebar berita bohong atau hoax sehingga berakibat terbelahnya masyarakat.
Satgas ini akan dibentuk pada bulan Januari mendatang dan diharapkan dapat menciptakan situasi yang lebih baik dari tahun-tahun politik sebelum.
Rahmat Bagja selaku Ketua KPU RI menyampaikan bahwasanya pembentukan satgas ini akan melibatkan berbagai pihak.
“Kami mendorong pembuatan satgas, ada Kominfo, KPU, Bawaslu dan juga cyber crime untuk meredam isu-isu di medsos yang tidak benar, yang bertentangan dengan UU, ataupun yang berpotensi untuk kemudian membuat polarisasi, kegentingan, dan lain-lain,” kata Bagja pada acara di Hotel Bidakara, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (17/12/2022).
Saat ini terkait satgas sendiri Bagja mengungkapkan masih dalam proses perumusan dan nantinya akan diluncurkan di bulan Januari.
Melihat tiap tahunnya masyarakat di media sosial akan terpolarisasi pada tahun politik sehingga gebrakan berupa satgas medsos ini menjadi solusi.
“Tantangan terakhir kita ke depan adalah bagaimana memantau dan mengawasi media sosial, yang kemudian membuat bangsa ini terpolarisasi,” ungkapnya.
Adanya satgas ini kejadian seperti penyebaran hoax, politisasi sara, black campaign diharapkan dapat dihindari.
Kedepannya satgas ini akan memiliki tanggung jawab untuk melihat aktivitas media sosial dan juga menjaring konten-konten yang dirasa berpotensi mengakibatkan kegaduhan.
Namun, Bagja mengakui masih berupaya untuk menentukan konten seperti apa yang dapat ditindak sehingga nantinya tidak bertentangan dengan hak masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya.
“Kalau konten di media sosial yang bermuatan SARA sudah pasti akan di tindak,” Pungkas Bagja.
Kemudian untuk konten yang bersifat implisit akan sulit ditindak dan harus dilakukan pendalaman tetapi untuk konten eksplisit akan segera ditindak.
Mengutip publikasi Opini Publik dalam Polarisasi Politik di Media Sosial, polarisasi politik terjadi ketika masyarakat terbelah dalam dua kutub berseberangan karena isu, kebijakan, atau ideologi.
Polarisasi merupakan situs dimana masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap sesuatu akan merasa dirinya yang paling benar dan siapa saja yang bertentangan dengan keyakinannya akan dianggap salah.
Situasi yang terpolarisasi ini akan sangat rentan terjadi perpecahan di masyarakat baik di media sosial atau bahkan konflik horizontal di antara masyarakat dengan pilihan calon presiden yang berbeda. Fenomena yang demikian terjadi pada tahun pemilihan umum 2019.
Mengutip tulisan Abdul Gaffar Karim dengan judul Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia polarisasi masyarakat sangat terlihat pada tahun 2019 dari dua Paslon yang ada kala itu.
“Pemilih cepat terbentuk dalam posisi berseberangan, terutama karena tema yang dibawa kedua pasangan ini berlainan. Satu berbicara penguatan kawasan pinggiran di Indonesia, dan yang lain ingin mengembalikan kejayaan Indonesia di kancah internasional. Yang satu menggandeng kelompok nasionalis, yang lain mengumpulkan kelompok Islam,” tercatat dalam tulisan Abdul.
(GEM/FAU)