Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Rasa Cinta Bukan Urusan Ranjang Doang, Begini Kata Antropolog UGM

Dr Suzie Handajani MA. (Doc: Ikhsan Aji Pamungkas/The Andal Post)

ANDALPOST.COM – Rasa cinta kepada seseorang selalu mengintai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dalam merasakan cinta, setiap orang memiliki cara berbeda untuk mengekspresikannya.

Ada yang menggunakan perkataan, tindakan, bahkan mengikat jari dengan cincin di pelaminan. Itu adalah bentuk pengekspresian dan bukti rasa cinta seseorang.

Pembahasan rasa cinta ini tidak akan habis untuk dibicarakan. Entah itu bersama kedua orang tua, teman, hingga pasangan. Rasa cinta ini biasanya akan menjadi laku jika diekspresikan ke dalam lagu, puisi, perfilman, dan sebagainya.

Pernahkah kalian berpikir bahwa rasa cinta itu bagian dari seksualitas?

Dr. Suzie Handajani, M.A. seorang Antropolog dari UGM menjelaskan bahwa seksualitas merupakan respon kultural manusia yang berasal dari kata “seks”.

Ia membagi hal tersebut menjadi dua respon yang dialami oleh manusia, yakni respon secara emosional dan respon secara fisik.

Respon emosional terwujudkan pada rasa cinta dimiliki pada perasaan seseorang. Sedangkan respon secara fisik terwujudkan pada perkataan dan tindakan manusia yang dilakukan. Tindakan ini biasanya dilakukan atas bentuk ungkapkan dari perasaan seseorang.

Menurut Suzie, seksualitas merupakan kebutuhan biologis seseorang yang tidak lepas dari manusia sebagai makhluk berkebudayaan.

“Mengenai seksualitas, saya ingin menyampaikan bahwa hal-hal itu walaupun sifatnya biologis dan fisik,

“Tapi karena manusia adalah makhluk kultural dan berbudaya, yang menjadi pertanyaan sejauh mana hal-hal yang di sekitar manusia sebagai termasuk ajaran keseharian manusia,” kata Suzie.

“Ketika seseorang ditanyakan apakah rasa cinta merupakan hal yang biologis yang orang-orang tidak pernah diajari. Misalnya, ternyata secara tidak disadari rasa cinta tumbuh di perasaan seseorang yang terbangun dari cerita dongeng di masa kecil, seperti bawang merah dan bawang putih,” sambungnya.

Suzie menceritakan bahwa cerita dongeng itu tidak lepas dari kisah percintaan yang aktor dalam ceritanya digambarkan sebagai seorang pangeran menikahi putri miskin karena berbagai alasan.

“Kisah cinta yang terdapat pada cerita dongeng itu sebagai ethnology complexity, jadi mengakui kompleksitas berkaitan dengan hal-hal sifatnya biologi dan kultural itu tidak bisa dipilahkan begitu saja. Karena, badan seseorang sudah ditata oleh kebudayaan,” tutue Suzie.

Selain itu, Suzie mempertegaskan bahwa cerita dongeng terdapat kisah cintanya itu tanpa disadari manusia menjadi heteronormatif.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.