ANDALPOST.COM – Negara Singapura melakukan perancangan terakit bagaimana diimplementasikannya cancel culture. Pembahasan tersebut telah mulai dirancang sejak tahun 2022. Pada tahun ini pemerintah Singapura telah “mencari cara untuk menangani budaya batal”.
Perancangan yang dilakukan oleh pemerintahan Singapura, terjadi ditengah adanya perang budaya yang saat ini terjadi di tengah masyarakat.
Terdapat anggota masyarakat yang melakukan atau memberi pembelaan kepada kaum atau komunitas homoseksual yang dimana hal tersebut ditentang oleh para kaum dari sisi agama.
Selain itu terdapat pula dekriminalisasi kepada para kaum homeseksual yang telah mulai diberlakukan dibeberapa negara konservatif saat ini.
Cancel culture sendiri, merupakan sebuah istilah yang berkembang dalam jejaring sosial media saat ini. Hal itu merupakan sebuah sebutan bagi, selebriti, merek, organisasi, dalam sebuah individu atau kelompok.
Sebutan tersebut akan menciptakan sebuah masa untuk melakukan tindakan. Sehingga pelarangan kepada pihak pihak tersebut untuk diblokir atau diboikot keberadaannya dalam suatu kondisi.
Beberapa orang memanglah menganggap bahwa peraturan tersebut sebagai sebuah keadilan sosial. Tidak sedikit sebutan ini dapat membuat sebuah aturan tidak tertulis bagi sebagain besar orang.
Akan tetapi dengan Singapura yang memutuskan untuk menjadikannya sebagai sebuah aturan tertulis dalam aturan atau Undang-undang kenegaraan. Hal tersebut menjadikan Singapura sebagi negara pertama yang melakukan penetapan cancel culture dalam hukumnya.
Pihak berwenang memberikan tanggapan bahwa mereka sedang “memeriksa undang-undang dan undang-undang terkait yang ada” setelah menerima “umpan balik”.
Akan tetapi beberapa pihak merasa bahwa dibentuknya hal tersebut dapat membungkam kebebasan berpendapat yang ada dalam pengimplementasiannya.
Perancangan Cancel Culture dalam Undang-undang
Ketika ingin memasukan cancel culture kedalam sebuah perturan perundang-undnagan, penting untuk mendefenisikan tindakan pembatalan apa saja yang dimaksudkan peraturan tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Eugene Tan. Ia adalah seorang profesor hukum rekanan dari Singapore Management University (SMU). Ia menyampaikan bahwa pada dasarnya tidak ada definisi yang diterima secara pasti terkait penbgertian dari cancel culture itu sendiri.
Oleh karena itu jika ingin dirancanglan dalam sebuah undang-undang pendefenisian yang jelas dan teliti mengenai cancel culture. Seperti apa yang akan diberlakukan pemerintah sangatlah penting.
Tan yang pernah menjabat sebagai seorang anggota Parlemen Singapura tersebut juga menjelaskan bahwa “Apa artinya ketika seseorang mengklaim dibatalkan? Bagaimana korban yang diduga menunjukkan bukti pembatalan?” ujar Tan.
Menurut Tan, cancel culture bisa ditafsirkan secara beda oleh masing-masing individu. Oleh karena itu, Ketidak tepatan dapat mengakibatkan undang-undang menjadi terlalu inklusif, mencakup tindakan yang tidak seharusnya,” tambah Tan.
Cancel Culture dan Mekanisme Hukum Singapura
Penjelasan lain datang dari Joshua Tong, yang merupakan seorang Pengacara menjelaskan bahwa hukum yang sedang dirancang membutuhkan mekanisme khusus.
“Dengan budaya pembatalan, hal-hal dapat segera menyebar secara online dan reputasi orang dapat hancur dalam hitungan jam,” jelas Tong.
Sementara dalam negara Singapura sendiri, terdapat beberapa Undang-undang yang mengatur penggunaan internet dan anti berita palsu. Pelanggaran hukum tersebut akan dikenakan dengan denda 50.000 dolar Singapura atau hukuman penjara lima tahun.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.