Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Donald Trump akan Dituntut Pidana oleh Komite 6 Januari Amerika Serikat

Mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (Design by @salwadiatma)

ANDALPOST.COM – Komite 6 Januari Amerika Serikat (AS) merekomendasikan tuntutan pidana terhadap mantan presiden Donald Trump karena diduga mengobarkan pemberontakan serta berkonspirasi melawan pemerintah.

Donald Trump diketahui melakukan upaya untuk menumbangkan hasil pemilu 2020 serta diduga terlibat dalam serangan berdarah di Capitol AS pada 6 Januari silam.

Rujukan komite yang disetujui oleh anggotanya pada Senin (19/12/2022) merupakan pertama kalinya dalam sejarah AS bahwa Kongres merekomendasikan tuntutan pidana terhadap mantan presiden.

Tuntutan pidana terhadap Trump itu muncul setelah 18 penyelidikan oleh panel DPR bipartisan dilakukan. Panel tersebut memang berfokus menyelidiki kasus Trump yang berusaha menghentikan Joe Biden sebagai presiden AS saat ini.

“Komite percaya bahwa ada lebih dari cukup bukti untuk rujukan kriminal mantan Presiden Trump guna membantu atau menghibur orang-orang di Capitol yang terlibat dalam serangan kekerasan di Amerika Serikat,” kata anggota Kongres, Jamie Raskin.

“Komite telah mengembangkan bukti signifikan bahwa Presiden Trump bermaksud mengganggu transisi kekuasaan yang damai di bawah Konstitusi kita,” lanjutnya.

“Presiden memiliki tugas konstitusional afirmatif dan utama untuk bertindak guna menjaga agar undang-undang dilaksanakan dengan setia. Tidak ada yang bisa menjadi pengkhianatan yang lebih besar dari tugas ini daripada membantu pemberontakan melawan tatanan konstitusional,” paparnya.

Komite juga menuduh Donald Trump telah melanggar empat undang-undang pidana federal, termasuk yang berkaitan dengan menghalangi proses resmi Kongres, membantu pemberontakan dan bersekongkol untuk menipu AS.

Raskin juga menyebut Trump telah melakukan konspirasi untuk menghasut warga AS. Lebih lanjut, ketua komite Demokrat, Bennie Thompson, mengatakan Trump telah merusak kepercayaan pemilih dengan meningkatkan kampanye untuk tetap menjabat.

“Memberikan suara di Amerika Serikat adalah harapan. Ketika kami memasukkan surat suara itu ke dalam kotak suara, kami berharap orang-orang yang disebutkan di surat suara akan menegakkan kesepakatan tersebut,” terang Thompson.

Sayangnya, Donald Trump telah mematahkan stigma tersebut saat mengalami kekalahan dalam pemilu 2020, tapi masih berupaya untuk menjabat sebagai presiden AS.

Donald Trump secara terang-terangan mencoba tetap menjabat melalui skema multipartai untuk membatalkan hasil dan memblokir transfer kekuasaan.

Tokoh utama dalam skema tersebut ialah seorang pengacara presiden bernama John Eastman. Ia diduga melakukan banyak strategi untuk membatalkan kemenangan Joe Biden.

Berdasarkan bukti dari Komite 6 Januari, Eastman membantu Trump menekan Wakil Presiden, Mike Pence, untuk mengganggu sertifikasi suara elektoral, meskipun pengacara tersebut tahu bahwa hal itu ilegal.

Sehingga, anggota parlemen menuduh Eastman telah melakukan konspirasi serta dugaan untuk mengganggu proses resmi pemilu.

Sementara itu, pada bulan lalu, Jaksa Agung Merrick Garland menunjuk jaksa veteran Jack Smith untuk menentukan apakah akan menuntut Trump atas pemberontakan dan upayanya mengganggu transisi kekuasaan yang damai.

Diketahui, Smith juga menangani penyelidikan mengenai Trump yang menyimpan rahasia pemerintah secara tidak sah usai meninggalkan Gedung Putih pada Januari 2021.

Keputusan atas kasus tersebut akan berdampak besar bagi masa depan sang mantan presiden. Apalagi setelah mengumumkan bahwa ia akan mencalonkan diri lagi sebagai presiden AS pada tahun 2024 mendatang.

(SPM/MIC)