Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Indonesia Berpotensi Alami ‘Resesi Seks’ karena Penurunan Angka Pernikahan dan Kelahiran

Indonesia mulai mengalami resesi sex berdasarkan turunnya angka kelahiran. (Design by @jauhras)

ANDALPOST.COM – Indonesia menjadi negara yang berpotensi mengalami resesi seks mengingat angka kelahiran yang terus menurun dari tahun ke tahunnya. Fenomena resesi seks merupakan keadaan enggannya pasangan untuk memiliki keturunan.

Resesi seks sebenarnya telah terjadi di negara-negara lain seperti Jepang, China bahkan Korea Selatan. Perubahan gaya hidup dan faktor-faktor seperti perkembangan teknologi, aplikasi kecan, pertimbangan karir, smartphone, serta adanya informasi yang berlebihan mengenai pernikahan membuat masyarakat enggan untuk menjalin hubungan.

Selain itu, dengan mulai munculnya orientasi seksual yang beragam juga menjadi salah satu alasan mengapa angka kelahiran menurun.

Potensi resesi seks di Indonesia sendiri disampaikan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo. Hesto membenarkan bahwa Indonesia berpotensi alami resesi seks, namun memang tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

“Potensi itu ada, tapi sangat panjang. Karena kan ini masalah usia pernikahan. Semakin lama kan semakin meningkat. (Ini bicara) pernikahan loh bukan seks,” kata Hasto di Hotel Shangri-La, Jakarta, Senin (12/12/2022).

Namun Hasto memang menyadari bahwa di kota-kota besar, tren pernikahan telah menurun. Ada juga beberapa tipe pasangan yang telah menikah namun tidak ingin memiliki keturunan. Disisi lain, pernikahan antara pria dan wanita di Indonesia juga kerap kali dilakukan pada usia yang tidak lagi muda.

“Usia pernikahan itu mundur, karena menempuh studi, karier dan sebagainya,” kata dia soal resesi seks Indonesia.

Di beberapa daerah di Indonesia juga telah terjadi situasi zero growth, yakni jumlah yang meninggal dan yang lahir adalah sama sehingga tidak ada peningkatan. Hal ini terjadi di beberapa kabupaten di Jawa Timur. Bahkan di Jawa Tengah, mereka telah mengalami minus growth.

Jika situasi resesi seks terjadi, maka bisa jadi keadaan itu akan menimbulkan keadaan dimana jumlah lansia semakin meningkat sedang angka kelahiran menurun.

Situasi yang demikian akan mengakibatkan kurangnya masyarakat yang berada di usia produktif. Hal ini kemudian akan berdampak pada sektor sosial dan ekonomi di suatu negara.

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, menjelaskan bahwa resesi seks di Indonesia dapat terjadi apabila generasi muda saat ini atau yang akan datang memilih hidup sendiri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Djarat melalui wawancara pada perempuan berusia 26 hingga 30 tahun, mereka lebih memilih karir dibandingkan menikah.

Selain itu alasan pendidikan juga diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan turunnya tren pernikahan di kalangan generasi muda di Indonesia.

Djarat juga menyampaikan bahwa faktor terbesar mengapa generasi muda sekarang tidak mau menikah adalah karena mereka lebih senang memilih hidup sendiri.

“Keinginan untuk hidup seorang diri muncul karena orang merasa tidak dibebani dengan tanggung jawab pada pasangan bahkan anak,” ungkap Djarat.

Faktor pertengkaran dalam rumah tangga juga menjadi alasan untuk tidak menikah. Hal ini disebabkan karena pertengkaran dirasa akan mengganggu pekerjaan dan membebani diri secara emosional.

“Keuntungan secara emosional tidak sebanding dengan itu (pertengkaran) sehingga keluarga itu dianggap tidak terlalu menguntungkan,” pungkas Djarat.

Resesi seks sendiri bermula dari sebuah tulisan Kate Julian yang muncul dalam cerita sampul The Atlantic bulan Desember.

Kate menyampaikan bahwa resesi seks terjadi karena remaja dan kalangan dewasa muda di Amerika Serikat melakukan lebih sedikit seks dibandingkan generasi sebelumnya.

(GEM/MIC)