ANDALPOST.COM – Iran dilanda protes selama lebih dari dua bulan hingga negara tersebut akhirnya memutuskan untuk membubarkan lembaga polisi moralitas mereka.
Protes yang terjadi di Iran dipicu karena penangkapan seorang perempuan bernama Mahsa Amini (22) asal Kurdi oleh polisi moralitas di Teheran pada 13 September 2022.
Mahsa Amini ditangkap lantaran diduga kuat melanggar aturan berpakaian di negara Iran. Hal ini diungkapkan oleh media lokal dan diberitakan di seluruh dunia.
Kemudian, Mahsa Amini ditahan hingga akhirnya meninggal dunia 3 hari setelah penangkapan tersebut. Aksi protes kemudian dilakukan oleh banyak perempuan untuk membela Mahsa Amini.
Pihak berwenang negara Iran melabeli aksi pembelaan tersebut sebagai “kerusuhan”. Dalam menjalannya aksinya, demonstran membakar penutup kepala wajib atau jilbab mereka sembari meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah.
“Polisi moralitas tidak ada hubungannya dengan peradilan dan telah dihapuskan,” kata Jaksa Agung, Mohammad Jafar Montazeri.
Sejak revolusi Islam 1979, monarki Iran berhasil digulingkan karena dukungan Amerika Serikat (AS). Sejak saat itu, terciptalah semacam pemantauan resmi terkait aturan berpakaian bagi pria maupun wanita.
Di bawah kepemimpinan mantan presiden Mahmoud Ahmadinejad, polisi moralitas dikenal kerap berpatroli guna menyebarkan budaya kesopanan berpakaian dan hijab.
Unit-unit polisi moralitas tersebut didirikan oleh Dewan Tertinggi Revolusi Kebudayaan Iran, yang saat ini dipimpin oleh Presiden Ebrahim Raisi.
Mereka mulai berpatroli pada tahun 2006 lalu guna menegakkan aturan berpakaian.
Wanita Iran wajib mengenakan pakaian panjang dan dilarang menggunakan celana pendek, jins robek, atau pakaian lain yang dianggap tidak sopan.
Tak hanya itu, semenjak kematian Mahsa Amini, banyak perempuan Iran tidak mengenakan jilbab. Khususnya di beberapa bagian di wilayah Teheran. Kerusuhan itu membuat pengadilan Iran mengambil keputusan untuk membubarkan polisi moralitas.
Sejak kasus Mahsa Amini, pembubaran polisi moralitas akhirnya diputuskan. Baik parlemen maupun peradilan sampai saat ini masih terus mendiskusikan peraturan yang mewajibkan perempuan Iranuntuk menutupi kepala.
Sebagai pemimpin Dewan Tertinggi Kebudayaan Iran, Ebrahim Raisi menjelaskan dalam sebuah komentar yang disiarkan di televisi pada Sabtu (03/12/2022) bahwa negara Iran serta yayasan Islam secara konstitusional memang sangat kuat.
Menurutnya, ada metode lain guna menerapkan peraturan yang lebih fleksibel. Salah satunya ialah mengenai jilbab yang wajib dikenakan di negara tersebut sejak tahun 1983 silam.
Perbedaan Aturan
Polisi moralitas yang dulu kerap mengadakan patroli awalnya mengeluarkan peringatan terlebih dahulu sebelum menindak dan menangkap wanita Iran yang berpakaian tidak sopan.
Mereka bekerja secara tim yang biasanya terdiri dari pria berseragam hijau dan wanita mengenakan cadar hitam serta memakai pakaian menutupi kepala dan tubuh bagian atas.
Namun lambat laun, norma pakaian berubah, terlebih saat di bawah kepemimpiann presiden moderat Hassan Rouhani. Presiden Rouhani bukanlah seseorang yang mempermasalahkan ketika melihat wanita Iran mengenakan jeans ketat dengan jilbab longgar berwarna-warni.
Namun pada Juli tahun ini, kepemimpinan Hassan Rouhani digantikan oleh Raisi. Presiden Raisi dikenal sangat ultra-konservatif menyerukan mobilisasi bahwa semua lembaga negara wajib menegakkan hukum jilbab.
Raisi berpendapat bahwa musuh terbesar Iran dan Islam ialah lunturnya nilai-nilai budaya serta peraturan berpakaian yang sopan.
Tetapi pada bulan September, Partai Persatuan Rakyat Islam Iran yang dikenal sebagai partai reformis utama negara Iran menyerukan agar peraturan mengenai jilbab dibatalkan.
Partai yang dibentuk oleh kerabat mantan presiden reformis Mohammad Khatami itu menuntut pihak berwenang untuk menyiapkan elemen-elemn hukum yang membuka jalan bagi pembatalan undang-undang wajib jilbab.
Mereka juga baru-baru ini mengungkapkan bahwa polisi moralitas secara resmi akan dibubarkan.
“Secara resmi mengumumkan bahwa kegiatan polisi moralitas telah berakhir,” terang partai tersebut.
(SPM/MIC)