Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Kejayaan Turki Utsmani di Tangan Muhammad Al-Fatih

(Sumber : Pinterest)

Pernahkah kita sebagai masyarakat berfikir, negara akan membawa kita ke arah mana? Pernahkah kita merenungi kemana tujuan yang ingin diraih suatu negara? Apakah negara akan membawa masyarakatnya mengalami kemajuan atau kemunduran?

Sebagian besar masyarakat menjawab ingin dibawa pada masa kejayaan untuk memperoleh hidup yang ideal. Namun, hal tersebut masih belum menemukan batasan yang jelas akan bagaimana cara untuk memperolehnya.

Masyarakat merupakan pondasi dari sebuah tatanan kehidupan bangsa. Masyarakat sebagai kohesi sosial yang melibatkan banyaknya individu, berhimpun dalam sebuah ikatan, adat budaya, dan berjuang mencapai tujuan bersama.

Menjadi masyarakat yang telah mengalami lika-liku hidup yang diiringi dengan tanda tanya penuh akan sebuah tujuan yang ingin dicapai. Fazlur Rahman mengemukakan bahwa masyarakat ideal sebagai sebuah tatanan kehidupan bersama yang berkeadilan dan bermartabat merupakan bagian penting dari tujuan al-Qur’an itu sendiri diturunkan.

Kita tahu betul, jika negara tidak bisa lepas kaitannya dengan masyarakat di dalamnya. Negara berlomba-lomba untuk mewujudkan suatu peradaban yang hebat di dunia. Sebuah kualitas dari suatu negara pasti akan menentukan seberapa berkualitas masyarakatnya. Masyarakat meniupkan harapan ke dalam harapan dan mimpi pada negara, masyarakat menjadi faktor pendorong yang memungkinkan negara untuk menemukan kejayaan di masa depan.

Kejayaan suatu negara, dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Namun, negara yang gemilang bukan berarti tidak ada ancaman yang hadir, hal tersebut yang menjadi perbedaan antara negara jaya dan negara yang masih berkembang. Jika suatu negara yang sudah maju menghadapi ancaman negara tentunya akan lebih siap untuk mengatasi ancaman tersebut dibanding dengan negara berkembang.

Seperti hal nya pada masa kejayaan Turki Utsmani. Disebutkan dalam sejarah bahwa Turki Usmani merupakan kerajaan yang paling memegang andil dalam menguasai wilayah-wilayah di dunia. Penaklukkan wilayah yang paling bersejarah yakni berhasilnya Turki Usmani menaklukkan Konstantinopel, di mana Konstantinopel merupakan ibukota dari kekaisaran Byzantium. Tak berhenti pada penaklukkan Konstantinopel saja, masih banyak kejayaan dari Turki Utsmani yang menempatkan masyarakat pada tatanan kehidupan yang ideal, sehingga dapat dijadikan contoh pada abad ini.

Kejayaan Turki Utsmani pada Masa Kepemimpinan Muhammad Al-Fatih

Dalam sejarah, Muhammad Al-Fatih menjadi tokoh pemimpin Turki Usmani selama 30 tahun dan berhasil membawa Kesultanan Turki Utsmani menembus kejayaannya. Muhammad Al-Fatih sejak kecil sudah dilatih untuk mempunyai karakter kepemimpinan yang baik yaitu dengan awal membentuk adanya sifat, kualitas, dan alasan dari setiap tindakan yang dilakukan.

Sifat menjadi penentu akan pembentukan karakter yang khas dari dalam diri seseorang. Muhammad Al-Fatih sejak kecil sudah disuguhkan dengan berbagai disiplin ilmu, mampu menguasai 5 bahasa (Arab, Persia, Latin, Italia, dan Turki), mempelajari perhitungan, sejarah, dan seni. Pelajaran-pelajaran itulah yang membuat Muhammad Al-Fatih mempunyai wawasan ilmu yang tinggi.

Pemimpin-pemimpin terdahulu Turki Utsmani memang sudah membawa Turki Usmani menjadi kekaisaran yang cukup masyhur, namun pada masa kepemimpinan Muhammad Al-Fatih atau Mehmed II, Turki dibawa pada masa yang sangat gemilang di mana hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh pemimpin terdahulunya. Bagaimana tidak, di usianya yang masih cukup belia yakni 21 tahun pada saat itu. Mehmed II berhasil menaklukkan Konstantinopel pada 29 Mei 1453.

Konstantinopel notabene merupakan kota paling penting di dunia pada saat itu dan sangat sulit untuk menembus dinding untuk masuk ke dalam kota tersebut karena kompleks dinding Theodosia. Kekaisaran juga memperkuat pertahanannya dengan mempunyai flamethrower yakni sebuah senjata “api yunani” dimana apinya sangat sulit untuk dipadamkan dengan air.

Konstantinopel dianggap sebagai kota terbesar, terkaya, dan terindah pada zamannya. Konstantinopel mempunyai posisi yang strategis di mana ia berada di jalur utama perdagangan antara laut Aegea dan laut Hitam. Posisi yang strategis serta keindahan yang dimiliki oleh Konstantinopel sempat diungkapkan oleh Napoleon Bonaparte dalam sebuah kalimat yang menyebutkan bahwa “kalaulah dunia ini sebuah negara maka Konstantinopel lah yang paling layak menjadi ibu kota negara.”

Setelah Konstantinopel jatuh di kekaisaran Turki Utsmani, tidak ada peristiwa pembantaian pada masyarakat jajahannya, melainkan Muhammad Al-Fatih menjanjikan keselamatan jiwa, kesejahteraan, keadilan yang sama dengan masyarakat Turki, dan kebebasan beragama pada masyarakat byzantium saat itu yang notabennya beragama Kristen. Masyarakat dapat hidup damai, makmur, sejahtera semasa kepemimpinannya.

Dibawah kepemimpinan Muhammad Al-Fatih, kota Konstantinopel berganti menjadi Istanbul dan menjadi Ibukota dari Turki. Sejarawan Rusia menyebutkan jika perlakuan kepemimpinan Turki Usmani lebih manusiawi dan sangat makmur dibanding kepemimpinan Byzantium dahulu.

Pertahanan militer yang dipunya Turki Utsmani saat itu menjadi pertahanan militer paling kuat di dunia. Dari segi persenjataan, kerajaan Turki Uthmaniyah juga berjaya mengembangkan lagi teknologi serbuk letupan dengan memperkenalkan beberapa senjata moden seperti meriam besar dan senapan modern.

Kerajaan Turki Usmani juga mempunyai angkatan tentera laut yang kuat ketika itu, malah muncul antara angkatan tentera laut yang kuat setaraf dengan beberapa kerajaan besar ketika itu.Setelah menaklukkan Konstantinopel, Turki Usmani di bawah pimpinan Mehmed II,berhasil menguasai wilayah Balkan, Hungaria, Walachia, Serbia, Moldavia, Anatolia, pulau Rhodes, dan bahkan hingga Semenanjung Krimea dan Otranto di Italia selatan.

Semasa kepemimpinan Muhammad Al-Fatih, bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama Islam berkembang dengan sangat pesat. Sultan Muhammad Al-Fatih membawa Turki Utsmani pada tatanan manajemen negara yang apik. Pada era kepemimpinannya, Turki Utsmani sangat peduli dengan masyarakatnya. Sultan Mehmed II mencerdaskan masyarakat melalui pendidikan dengan memfasilitasi kegiatan pendidikan seperti mendirikan fasilitas sekolah, mendirikan fasilitas perpustakaan, biaya sekolah gratis, memberi asrama bagi para siswa, serta memberikan uang saku bulanan.

Kejayaan Turki Utsmani juga memberikan dampak pada bidang keilmuan barat. Pada bidang sains dan teknologi, terdapat tokoh astronom terkenal yakni Ali Kuşçu yang telah mengembangkan teori berkaitan pergerakan bulan. Dalam ilmu matematik, terdapat tokoh terkenal ialah Bahauddin al-Amili, yang menghasilkan tulisan berjudul Hulasatu’l-hisab. Buku tersebut menjadi rujukan utama dalam bidang matematik di madrasah.

Masa kepemimpinan Mehmed II memberi ruang bagi Ulama, Penyair, dan Sastra. Sultan sangat mencintai Ulama dan Sastra. Sejak kecil sultan hidup berdampingan dengan mereka. Sultan beranggapan jika mereka adalah jembatan ilmu yang dapat membangun karakter penerus bangsa. Kemajuan ilmu pada masa kejayaan kerajaan Turki Utsmaniyah, menunjukkan bahwa kerajaan tidak hanya mempunyai kemajuan pada satu bidang pemerintahan saja, tetapi turut memberi penekanan terhadap kemajuan bidang lainnya seperti bidang intelektual.

Relevansi Kejayaan Turki Utsmani Pengantar Pada Tatanan Masyarakat Ideal

Kejayaan Turki Utsmani pada masa kepemimpinan Sultan Muhammad Al-Fatih memberikan dampak nyata pada masyarakatnya sejak abad ke-14. Kejayaan Turki Utsmani yang ditinggalkan masih dapat dirasakan hingga kepemimpinan saat ini. Kemajuan Turki Usmani menjadi pengantar pada tatanan masyarakat yang ideal, yakni masyarakatnya dapat merasakan kesejahteraan, keadilan, kedamaian, kemajuan, dan kebebasan.

Kejayaan Turki Utsmani memberikan kita teladan yang bisa menjadi cerminan dan motivasi bagi negara-negara lain untuk berkembang mencapai puncak kejayaan negara, sehingga demikian negara tersebut mampu menghantarkan masyarakatnya pada tatanan masyarakat ideal layaknya yang dirasakan oleh masyarakat pada masa kejayaan Turki Usmani.

Penulis: Novyta Indryani, Mahasiswi UPN Veteran Jakarta