ANDALPOST.COM – Akhir-akhir ini, marak sekali kejadian dan aktivitas kejahatan yang didasarkan oleh kekerasan berbasis gender.
Seperti suami merobek kemaluan istri karena ditolak ajakan seksnya, ledakan di Spanyol yang menewaskan dua orang, dan masih banyak lagi.
Tidak hanya mengenai kekerasan gender, isu kesetaraan gender pun semakin marak dikampanyekan oleh berbagai pihak, mulai pemerintah hingga para aktivis.
Kampanye kegiatan kesetaraan gender ini juga dilakukan melalui berbagai cara. Ada yang melalui daring, bahkan hingga turun langsung di ruang-ruang publik.
Kekerasan berbasis gender merupakan salah satu dari permasalahan yang perlu dibasmi untuk mencapai kesetaraan gender, yang hingga kini masih diperjuangkan hak-haknya.
Selain itu kekerasan berbasis gender ini merupakan hal yang amat merugikan. Hal ini merupakan kejadian yang dapat menghasilkan trauma dari korban, bahkan memerlukan penanganan yang serius.
Lantas, apa itu kekerasan berbasis gender?
Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merupakan kekerasan yang dilakukan secara langsung kepada seseorang, berdasarkan seks atau gendernya.
Perilaku kekerasan ini meliputi kekerasan fisik, seksual dan mental, dengan kekerasan seperti pemaksaan, ancaman, bahkan perbuatan yang membatasi kebebasan seseorang yang berkaitan dengan gendernya.
Tidak hanya sampai situ, dari perilaku kekerasan ini, kekerasan tersebut masih dapat diuraikan lagi menjadi bentuk kejahatan yang lain seperti eksploitasi seksual, atau bahkan menyebarkan berita hoax dan upaya pencorengan nama baik, yang memiliki motif atau asumsi bias terhadap suatu gender.
KBG mengikuti zaman teknologi
Mengingat adanya perkembangan dan kemajuan pada teknologi, aktivitas kejahatan seperti KBG juga mengikuti kecanggihannya, maka itu kita perlu mengenal sekstorsi.
Sekstorsi merupakan kekerasan berbasis gender juga, akan tetapi aktivitasnya dilakukan secara online.
Lebih rincinya, aksi ini dapat dilakukan dengan cara memeras korban terlebih dahulu secara materil maupun seksual, yang disertai dengan ancaman akan menyebarluaskan konten pornografi milik korban.
Konten pornografi korban secara umum dapat didapatkan dengan cara memperdaya dan juga dengan cara peretasan (hacking).
Apa pemicu yang memperparah KGB?
Penyebab kekerasan berbasis gender memanglah cukup beragam. Namun, ada beberapa hal yang seringkali menjadi “pelaku yang memperkeruh” aktivitas yang dianggap sudah parah ini, antara lain:
1. Mansplaining
Mansplaining merupakan situasi di mana laki-laki berbicara dan merasa bahwa mereka melebihi perempuan. Kerap kali, mereka memberikan komentar atau pendapatan tanpa diminta lawan bicaranya. Seolah-olah mereka mengartikan bahwa lawan bicaranya yang seorang perempuan tidak mengerti apapun mengenai topik yang sedang dibicarakan.
Pada berbagai kesempatan, mansplaining juga berarti perilaku yang menggurui dan menganggap perempuan sebagai lawan bicaranya tidak lebih pintar.
Sikap seperti inilah yang seringkali menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai, yang malah berujung kepada kekerasan mental secara online.
2. Toxic Masculinity
Flood pada 2018 mendeskripsikan Toxic Masculinity sebagai konsep maskulinitas yang menekankan aspek kekuatan, dominasi, superioritas, penaklukan, dan karakter lainnya yang diidentikkan dengan laki-laki.
Konsep ini keliru dan merugikan, baik untuk perempuan bahkan bagi laki-laki itu sendiri. Hal teersebut karena menimbulkan paradigma yang mengharuskan laki-laki untuk terus membuktikan kepada siapapun agar dirinya tidak terlihat lemah atau “kurang jantan”.
Dampak konsep ini bagi perempuan adalah adanya pelecehan seksual secara fisik maupun mental, salah satunya adalah karena adanya nilai pegang dominasi. Jadi para penganut konsep ini merasa bahwa mereka memiliki hak dan boleh-boleh saja melecehkan perempuan, karena mereka dominan.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.