ANDALPOST.COM – Jutaan LGBTQ Amerika turut serta dalam perayaan bulan Pride di tengah meningkatnya serangan online maupun offline, Minggu (11/6/2023).
Menurut peneliti meningkatnya serangan terhadap kaum tersebut dipengaruhi beberapa faktor, termasuk upaya hukum untuk membatasi hak-hak LGBTQ dan retorika politik yang mengobarkan percakapan nasional seputar isu-isu seperti drag show dan perawatan kesehatan transgender.
Jay Ulfelder, seorang ilmuwan politik dan data di Universitas Harvard, telah melacak demonstrasi anti-LGBTQ sejak 2017 silam.
Berdasarkan data tersebut memperlihatkan peningkatan signifikan dalam pengambilan data yang dimulai pada tahun 2022, meningkat sekitar 30 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2017.
Bahkan, aksi protes telah meningkat sebanyak empat kali lipat.
Peningkatan Aksi Protes
Kemungkinan besar dalam satu setengah tahun terakhir untuk memasukkan narasi anti-LGBTQ daripada saat penghitungan dimulai.
Organisasi advokasi LGBTQ GLAAD telah mencatat delapan peristiwa Pride 2023 yang harus mengubah rencana mereka karena ancaman kekerasan pada 1 Juni, kata juru bicara Angela Dallara.
Setengah dari mereka berada di Florida, di mana penyelenggara acara telah meningkatkan keamanan bagi perayaan tersebut pada tahun ini.
Sebanyak tiga orang ditangkap saat kekerasan pecah di luar pertemuan distrik sekolah yang membahas inklusivitas LGBTQ di Glendale, California.
Ditanya mengenai tingkat ancaman selama bulan Pride, seorang juru bicara FBI mengatakan badan tersebut mendesak orang-orang untuk waspada terhadap lingkungan mereka dan melaporkan aktivitas yang mencurigakan.
Tak hanya serangan maupun ancaman, langkah hukum guna membatasi hak LGBTQ juga kian meningkat.
ACLU telah melacak 491 RUU anti-LGBTQ di badan legislatif negara bagian tahun 2023, rekor tertinggi dalam satu abad terakhir.
Muncul upaya yang dipimpin oleh Partai Republik untuk membatasi kaum tersebut di 15 negara bagian dalam beberapa bulan terakhir.
Di Florida, pejabat pendidikan memperluas inisiatif Gubernur Ron DeSantis tahun 2022 yang membatasi diskusi LGBTQ di sekolah hingga kelas tiga, juga dikenal sebagai RUU “Jangan Katakan Gay”.
Para pendukung RUU berpendapat bahwa hanya orang tua yang harus memutuskan kapan membahas topik seperti seksualitas atau identitas gender dengan anak-anak, sementara kritikus mengatakan itu akan semakin meminggirkan, membahayakan, dan membungkam siswa LGBTQ.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.