ANDALPOST.COM — Sudah dua pekan lamanya, konflik yang terjadi di negara yang terletak di timur laut benua Afrika, Sudan belum juga usai.
Bentrok yang terjadi di ibu kota Khartoum sejak 15 April lalu justru semakin memanas. Hingga melibatkan senjata berat dan bahkan telah meluas ke kota-kota lain.
Penyebab konflik tersebut sebenarnya adalah masalah lama yang sudah ada di negara itu. Semua dimulai sejak Sudan Selatan memerdekakan diri di tahun 2011.
Sudan Selatan yang menjadi sumber pendapatan tersebut ternyata berpengaruh besar pada kondisi ekonomi Sudan.
Terbukti pada akhir 2017 lalu, krisis ekonomi di Sudan semakin parah, ditandai dengan lonjakan harga dan inflasi. Setahun kemudian, pada Desember 2018, demonstrasi terjadi di beberapa kota-kota besar.
Konflik dengan berbagai permasalahan bahkan terus terjadi hingga saat ini.
Salah satunya sejak Desember 2022 lalu, perbedaan politik dan perebutan kekuasan antara Ketua Dewan Kedaulatan merangkap Panglima Angkatan Bersenjata Sudan, Abdel Fattah al-Burhan dengan Wakil Ketua Dewan Kedaulatan sekaligus Pasukan Dukungan Cepat Sudan, Mohamed Hamdan Dagalo secara bertahap mengemuka dan semakin memanas.
Perbedaan kedua belah pihak dalam isu reformasi militer menjadi alasan utama pecahnya konflik di Sudan.
Konflik yang terjadi selama dua pekan terakhir tersebut, sudah menelan korban jiwa sedikitnya 459 orang dan tercatat 4.000 luka-luka.
Baca juga:
Kemlu Gercep! Mampu Meredam Perang di Sudan |
“WHO memperkirakan bahwa seperempat dari nyawa yang melayang sejauh ini sebetulnya dapat diselamatkan melalui akses ke kontrol perdarahan dasar. Namun, paramedis, perawat, dan dokter tidak dapat memeriksa warga sipil yang terluka, dan warga sipil tidak dapat mengakses layanan,” kata Tedros Ghebreyesus Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Warga Sudan Mengungsi
Gempuran serangan tiap hari yang terjadi di ibukota Sudan tersebut membuat ribuan warga sipil Sudan berbondong-bondong mengevakuasi diri.
Ribuan orang pun lari untuk mengamankan nyawa mereka dari serangan perang saudara yang tidak terkendali.
Ribuan warga sipil tersebut tercatat mengungsi ke negara-negara terdekat yang menurut mereka aman, contohnya Mesir. Pengungsi Sudan lantas berbondong-bondong melintasi perbatasan Arqin utara menuju Mesir.
Kementerian Luar Negeri Mesir menyebut telah ada 14.000 warga asal Sudan yang menempuh perjalanan darat ke negara itu untuk meminta perlindungan.
Mesir juga disebut telah menampung 2000 warga negara asing dari 50 negara atau organisasi internasional yang berbeda. Sebelum mereka diterbangkan dengan aman ke negara masing-masing.
Selain Mesir, puluhan ribu penduduk Khartoum melarikan diri ke provinsi lain atau ke negara tetangga seperti Chad dan Sudan Selatan.
Tidak hanya warga sipil Sudan, Indonesia juga memiliki ratusan warga negaranya yang bermukim di Sudan.
Namun, langkah cepat dilakukan oleh pemerintah untuk mengevakuasi WNI yang masih berada di wilayah konflik tersebut.
Difasilitasi oleh Kementerian Sosial, sebanyak 385 WNI dari Sudan menumpang pesawat Garuda GA991 telah mendarat di Bandara Soekarno Hatta, pada Jumat (28/4).
“Kementerian Sosial di klaster pengungsian dan perlindungan telah melakukan pelayanan optimal dalam proses evakuasi WNI dari Sudan. Kami sudah siapkan mulai dari pemenuhan kebutuhan logistik hingga permakanan,” kata Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Non Alam Kementerian Sosial (PSKBNA) Mira Riyati di Jakarta (28/04).
Rencananya, WNI yang berada di Sudan akan dievakuasi dan dibagi menjadi 3 kloter, yaitu Kloter Pertama pada tanggal 28 April 2023 sebanyak 385 WNI.
Kloter Kedua pada tanggal 30 April 2023, dan Kloter Ketiga pada tanggal 1 Mei 2023. (azi/ads)