Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Masyarakat Jepang Khawatir akan Generasi yang Kecanduan Game

Para orang tua di Jepang merasa khawatir karena buah hati mereka kecanduan akan video game. (Sumber: Japan Today)

ANDALPOST.COM – Identik sebagai pusat video game, Jepang justru menghadapi masalah soal kecanduan. Dari game “Super Mario” hingga “Final Fantasy”, banyak orang di Jepang memainkan permainan online tersebut.

Sayangnya, beberapa ahli dan orang tua khawatir akan masalah kecanduan terhadap video game yang kian berkembang. Hingga saat ini, untuk masalah kecanduan game memang masih belum ada solusi guna menyelesaikannya.

Jika melihat negara-negara terdekat seperti China dan Korea Selatan, mereka telah memberlakukan pembatasan drastis pada video game dalam beberapa tahun terakhir.

Berbeda dengan adanya penanganan dari pemerintah, masyarakat Jepang justru merasa dibiarkan menangani masalah itu sendiri.

Setiap bulan, sekelompok orang bertemu di Tokyo untuk bertukar cerita dan strategi mengatasi kebiasaan bermain game anak-anak mereka.

“Satu-satunya kenyamanan saya adalah dia menepati janjinya untuk tetap offline semalaman,” kata seorang ayah di Jepang.

Ia juga mengatakan bahwa sang anak telah menghadiri sesi rehabilitasi guna menghilangkan kecanduan pada video game.

Sakiko Kuroda, selaku pendiri grup rehabilitas, mengungkapkan bahwa anak-anak di Jepang sekarang sudah mulai bermain video game di awal sekolah dasar.

Kecenderungan ini juga meningkat sejak adanya pembatasan akibat pandemi Covid-19. Alhasil, mereka bermain video game jauh lebih lama dibandingkan hari-hari biasanya.

Banyak orang tua tidak tahu bagaimana menangani masalah serius tersebut. Mereka menilai pemerintah kurang cakap dalam memberi langkah tegas untuk industri game.

“Orang-orang datang dari seluruh negeri untuk ambil bagian, karena pertemuan swadaya semacam ini jarang terjadi di Jepang,” terang Kuroda.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan “gaming disorder” sebagai perilaku yang mengakibatkan penurunan signifikan di bidang pendidikan atau pekerjaan.

Menurut WHO, game dapat tumpang tindih dengan aktivitas online lainnya seperti penggunaan media sosial sehingga sulit untuk mengukur masalahnya.

Meskipun begitu bukti anekdot dari dokter menunjukkan bahwa lebih banyak keluarga di Jepang yang khawatir soal kecanduan video game, terlebih sejak pandemi COVID-19.

Sebuah survei kementerian pendidikan pada bulan April lalu menunjukkan sekitar 17 persen anak usia enam hingga 12 tahun menghabiskan lebih dari empat jam sehari untuk bermain game.

Angka tersebut mengalami lonjakan dari sembilan persen pada 2017 lalu dan mayoritas dari mereka berusia 12 hingga 15 tahun.

“Game memiliki sistem cerdas untuk memikat orang agar terus bermain, termasuk aplikasi yang terus diperbarui dan uang virtual,” kata Mia Itoshiro, seorang pekerja yang memberikan seminar mengenai pencegahan kecanduan game.

“Orang tua semakin sering berkonsultasi dengan kami dengan mengatakan ‘anak saya tidak bisa sekolah karena lelah setelah bermain semalaman,” terang Itoshiro.

Hingga kini, Jepang belum memiliki aturan tegas guna mengurangi atau bahkan menghentikan kecanduan akan video game.

Namun perlu diketahui bahwa pada tahun 2020 lalu, Jepang sempat mengeluarkan aturan untuk bermain game. Larangan tersebut mengimbau pemain di bawah 18 tahun untuk tidak bermain video game lebih dari satu jam pada hari kerja.

Sayangnya, aturan tersebut lemah karena tidak memiliki mekanisme penegakan hukum.

Orang tua dan para ahli mengatakan bermain game dapat menyebabkan perilaku obsesif pada anak-anak karena masalah lain, termasuk stres atau intimidasi terkait COVID-19.

Dikutip dari AFP, ibu dari seorang gadis berusia 13 tahun mengungkapkan bawa sang putri ingin mati saat dirinya mencoba mengambil tablet yang dimainkannya.

“Jika Anda mencabut ini dari saya, saya ingin mati,” kata anak dari ibu tersebut yang saat itu berusia 10 tahun.

“Saya terkejut mendengarnya mengatakan hal seperti itu,” ujar sang ibu.

Sementara itu, bagi Takahisa Masuda (46) video game merupakan penyelamat saat ia mendapat intimidasi dari teman-temannya.

“Saya telah berpikir untuk bunuh diri, tetapi saya ingin menyelesaikan ‘Dragon Quest’ terlebih dulu, dan itu justru menghilangkan niatan saya untuk bunuh diri,” ungkap Masuda.

Maraknya kekhawatiran orang tua akan kecanduan video game membuat Susumu Higuchi, seorang dokter andal dan direktur Pusat Medis dan Kecanduan Kurihama, menawarkan konseling anak-anak untuk mengatasi masalah mendasar tersebut.

Kliniknya menyediakan kegiatan offline mulai dari seni dan memasak hingga olahraga, yang dimaksudkan untuk membuka diri pasien terhadap hobi dan situasi sosial lainnya.

“Membahas game dan alat online membutuhkan keseimbangan,” kata Higuchi, “tapi saat ini menurut saya langkah-langkah untuk mengendalikan aspek negatif dikerdilkan oleh promosi game,” pungkasnya.

(SPM/MIC)