Istilah Mina
Istilah Mina dihubungkan dengan kata ‘tamannd’ dan ‘manna’, yang berarti ‘mengharapkan’ atau ‘membangkitkan keinginan’. Ketika kita berbicara tentang sejarah Islam, seperti yang lainnya, ada cerita di balik nama Mina.
Lembah Mina diyakini terkait dengan ujian yang harus dialami Nabi Ibrahim (AS) ketika Allah SWT memerintahkannya untuk mengorbankan putra satu-satunya, Nabi Ismail (AS).
Namun, atas perintah Allah SWT, seekor domba secara ajaib muncul di antara Nabi Ibrahim (AS) yang ditutup matanya dan putranya dan dikorbankan sebagai gantinya.
Oleh karena itu, nama “Mina” diberikan ke tempat itu, yang menyiratkan “tempat dia berhasil” dan “tempat dia diuji”. Selain itu, kata “Mina” juga berarti “mengalir” karena itu adalah tempat di mana selama Hajjat-ul-wada (Ziarah Perpisahan), umat Islam bersama Nabi Muhammad SAW mengorbankan seratus unta.
Menurut ajaran Islam, umat Islam diperintahkan untuk menghabiskan malam tanggal 8, 11 dan 12 Dzulhijjah di Mina. Setelah selesai tawaf , jamaah haji diperintahkan untuk kembali ke Mina Haji.
Selama berada di Mina, jemaah membaca Al-Qur’an, berdoa, menyembah Allah SWT, melakukan zikir dan mendengarkan ceramah Islam sepanjang malam. Setelah fajar menyingsing, umat Islam diperintahkan untuk keluar dari Mina dan bergerak menuju Gunung Arafah.
Haji Mina disebutkan dalam Surah Al-Baqarah dalam Al-Qur’an sebagai berikut: “Dan ingatlah Allah pada hari-hari [tertentu] yang dihitung. Maka siapa pun yang mempercepat [keberangkatannya] dalam dua hari – tidak ada dosa baginya, dan siapa pun yang menunda [sampai hari ketiga] – tidak ada dosa baginya – bagi orang yang takut kepada Allah. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.” [Al-Quran, 2:203]. (paa/lfr)