Pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing saat bertemu Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC). Ia mengungkapkan pemilihan multi-partai wajib diselenggarakan sesuai keinginan rakyat.
Kendati begitu, Hlaing tidak memberikan batas waktu guna pemungutan suara, namun hal ini tidak dapat dilakukan dalam keadaan darurat.
Sayangnya, kritikus meyakini bahwa pemilihan tersebut hanyalah dalih untuk mempertahankan kekuasaan militer mereka.
“Meskipun menurut pasal 425 konstitusi, (keadaan darurat) hanya dapat diberikan dua kali,
“Situasi saat ini berada dalam keadaan yang tidak biasa dan cocok untuk perpanjangan sekali lagi selama enam bulan,” terang pejabat presiden, Myint Swe.
Jenderal tertinggi negara Asia Tenggara tersebut sekaligus memimpin putsch pada Februari 2021. Usai lima tahun pembagian kekuasaan yang tegang di bawah sistem politik semi-sipil oleh militer Myanmar.
Di sisi lain, para demonstran serta pemimpin sipil yang diasingkan berjanji akan mengakhiri perebutan kekuasaan ilegal oleh tentara.
Di beberapa kota besar Myanmar, jalan-jalan disterilkan bersamaan unjuk rasa diam yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Sementara itu, ratusan pendukung demokrasi menghadiri aksi unjuk rasa di Thailand dan Filipina.
Negara Myanmar memang berada di ambang kerumitan sejak kudeta, dengan adanya gerakan perlawanan melawan militer di berbagai front.
Alhasil, pada peringatan kudeta pada Rabu (1/2/2023), aktivis demokrasi menghimbau warga untuk tidak turun ke jalan antara jam 10 pagi hingga 3 sore.
Sedangkan, di negara Thailand ratusan pengunjuk rasa anti-kudeta mengadakan unjuk rasa di luar kedutaan Myanmar di Bangkok.
“Tahun ini sangat menentukan bagi kami untuk benar-benar menumbangkan rezim militer,” kata Acchariya, seorang biksu Buddha yang menghadiri unjuk rasa tersebut. (spm/fau)