Pongsudhirak pun menambahkan, bahwa pendekatan Thailand terhadap Myanmar dapat merusak kedudukan internasional Thailand.
“Pendekatan Thailand terhadap Myanmar merusak kedudukan internasional negara kami. Kedua negara berbagi perbatasan yang panjang dan kami tidak ingin melihat Balkanisasi Myanmar. Tapi ini tidak berarti Thailand harus bersujud kepada Dewan Administrasi Negara (SAC),” tambah Pongsudhirak.
“Perlawanan anti-kudeta semakin kuat dan mereka berkomitmen sengit. Kita juga harus bekerja dengan mereka. Thailand juga harus menyediakan saluran bantuan kemanusiaan,” lanjutnya.
Pengaruh Militer
Pada Senin (20/3), parlemen Thailand dibubarkan sehingga membuka jalan bagi pemilihan pada bulan Mei mendatang.
Sementara Pemilihan harus diadakan antara 45 dan 60 hari setelah pembubaran.
Diketahui, Thailand telah digolongkan sebagai negara demokrasi yang cacat oleh kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) dan Economist Intelligence Unit.
Negara ini telah mengalami 12 kudeta militer sejak yang pertama pada tahun 1932 silam.
Sistem parlementer sangat condong ke arah militer Thailand yang memiliki wewenang khusus untuk mengangkat anggota majelis tinggi.
Kendati partai oposisi Pheu Thai dan Move Forward tampaknya memiliki dukungan yang cukup besar dalam jajak pendapat, tapi hasilnya tidak akan ditentukan oleh jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan DPR saja.
Hasil pemungutan suara oleh 250 Senator yang ditunjuk militer juga diperhitungkan.
Berarti dua partai pro-demokrasi utama akan membutuhkan lebih dari 75 persen kursi (376) untuk mengimbangi kursi militer dan membentuk pemerintahan.
Di sisi lain, Paetongtarn Shinawatra dari Pheu Thai, Putri Mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dan keponakan Yingluck, memperluas keunggalannya atas Prayuth sebagai pilihan utama pemilih dalam jajak pendapat terbaru.
Jika Pheu Thai berhasil menyatukan koalisi, mereka dapat mengamankan posisi dalam Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). (spm/ads)