Contoh Kasus
Inti dari kasus yang terjadi pada hari Rabu ini adalah seorang wanita transgender Jepang yang ingin terdaftar secara hukum sebagai wanita tanpa operasi.
Ia menyebut kewajiban untuk disterilkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan inkonstitusional.
Petisinya di masa lalu ke pengadilan keluarga, dan kemudian ke pengadilan yang lebih tinggi, keduanya ditolak.
Hal itu merupakan kedua kalinya Mahkamah Agung mempertimbangkan pertanyaan konstitusional mengenai persyaratan sterilisasi. Setelah memutuskan bahwa hal tersebut konstitusional sampai saat ini pada tahun 2019 lalu.
Para hakim membela persyaratan tersebut dengan tujuan untuk mencegah kebingungan yang mungkin timbul pada kaum transgender. Terlebih jika mereka memiliki anak setelah mengubah jenis kelamin yang sah.
Keputusan pengadilan tinggi pada hari Rabu (25/10/2023), ini telah ditunggu-tunggu oleh komunitas transgender Jepang. Termasuk pria transgender berusia 34 tahun, Tomoya Asanuma.
Pada usia 23 tahun, Asanuma diambil rahim dan indung telurnya untuk mengubah jenis kelamin secara hukum dan diizinkan menikahi tunangan wanitanya pada saat itu.
“Menjadikan operasi sebagai syarat untuk mengubah gender yang sah terlalu berisiko bagi para transgender dalam segala aspek, secara fisik, emosional, dan finansial,” kata Asanuma.
“Saya masih kesakitan. Sungguh membuat frustasi memikirkan saya tidak akan menderita sebanyak yang saya alami sekarang jika saja saya diizinkan mengubah jenis kelamin saya tanpa operasi,” terangnya. (spm/ads)