Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Pria Korea Meninggal Akibat Infeksi Amoeba Pemakan Otak Usai Pulang dari Thailand

Seorang pria Korea meninggal akibat infeksi Amoeba pemakan otak. (Sumber: Hindustan Times)

ANDALPOST.COM – Seorang pria Korea Selatan berusia 50 tahun dikabarkan meninggal dunia setelah pulang dari Thailand. Indikasi penyakitnya menunjukkan infeksi amoeba pemakan otak yang merupakan gejala infeksi langka, tetapi sangat mematikan.

Berdasarkan keterangan resmi yang telah dihimpun oleh Tim Andal Post, Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KDCA) mengkonfirmasi bahwa pria Korea yang telah tinggal dan bertugas selama empat bulan di Thailand itu kembali ke Korea Selatan pada Sabtu (10/12/2022). Laporan tersebut dikonfirmasi pada Senin (12/12/2022).

Awalnya, pasien mulai menunjukkan gejala meningitis, seperti sakit kepala, demam, muntah, kesulitan berbicara, dan leher menjadi kaku. Ia pun dipindahkan ke ruang gawat darurat keesokan harinya. Namun, nahas dia dinyatakan meninggal pada Rabu (21/12/2022). 

Menanggapi hal demikian, otoritas kesehatan melakukan tes lebih lanjut untuk memastikan penyebab pasti kematiannya.

Ditemukan ternyata memang benar adanya infeksi Naegleria fowleri. Kasus ini merupakan kasus resmi pertama infeksi Naegleria fowleri di Korea. 

Apa itu Naegleria Fowleri?

Naegleria fowleri adalah amoeba bersel tunggal yang umumnya ditemukan di air tawar hangat seperti kolam, sungai, dan danau.

Amoeba tersebut dapat memasuki tubuh manusia melalui hidung dan menyebabkan infeksi otak langka yang mengancam jiwa.

Penyakit ini disebut juga meningoensefalitis amebik primer (PAM) yang memiliki tingkat kematian PAM melebihi 97 persen, tetapi infeksi tidak menyebar antar manusia. 

Adapun masa inkubasi Naegleria fowleri biasanya dua hingga tiga hari, maksimal hingga 15 hari.

Sejauh ini, KDCA belum menemukan indikasi penularan yang tepat. Namun, ia mengungkapkan bahwa berenang di air yang terkontaminasi, atau mungkin membilas hidung dengan air yang kotor dan sudah tercemar infeksi adalah faktor penyebab utama penyakit tersebut.

KDCA mengatakan telah melakukan tes genetik pada tiga jenis patogen penyebab Naegleria fowleri untuk memastikan penyebab kematiannya.

Pengujian mengkonfirmasi gen dalam tubuh pria itu 99,6 persen mirip dengan yang ditemukan pada pasien meningitis yang dilaporkan di luar negeri.

Di samping itu, pakar mikrobiologi lokal mengatakan bahwa warga Korea tidak perlu terlalu khawatir dengan kasus amoeba pemakan otak pertama karena parasit tersebut tidak mungkin ada di negara Korea. Namun, mereka memperingatkan bahwa jumlah kasus di seluruh dunia meningkat.

Orang yang Terinfeksi Memiliki Kemampuan Bertahan Hidup Rendah

Shin Ho-joon, seorang ahli mikrobiologi di Universitas Ajou mengatakan bahwa orang yang sudah terinfeksi Naegleria fowleri memiliki kemampuan bertahan hidup yang sangat rendah karena penyakit ini berkembang pesat.

“Diagnosis pencegahan infeksi sangat sulit karena gejala awalnya mirip dengan flu biasa. Dan pada saat seorang pasien menunjukkan gejala yang lebih terlihat seperti leher kaku, tidak sadarkan diri, koma atau kematian dapat terjadi di hari-hari berikutnya,” kata Shin Ho-Joon, menurut laporan resmi situs The Korea Times. 

“Oleh karena itu, dalam banyak kasus, infeksi terdeteksi setelah kematian. Tidak ada pengobatan atau vaksin yang efektif untuk melawannya,” tambah Shin.

Tim risetnya telah bekerja untuk mengembangkan vaksin potensial melawan patogen yang terbawa air. Dengan uji coba awal pada tikus yang menunjukkan hasil yang menjanjikan. Namun, efektivitasnya pada manusia belum dapat dibuktikan.

“Harus ada studi tambahan untuk memverifikasi distribusi amoeba di negara ini,” katanya.

Shin juga memperingatkan bahwa orang yang bepergian ke luar negeri harus berhati-hati. Jumlah infeksi meningkat di negara-negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia Tenggara, dan beberapa negara Eropa.

“Ketika suhu meningkat di danau dan sungai karena pemanasan global, kasus lebih sering teridentifikasi di negara bagian selatan AS seperti Florida dan Texas. Selain itu, sebagian besar kasus diperkirakan terjadi di Amerika Selatan dan China, tetapi jarang dilaporkan secara resmi,” tambahnya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.