Setelah itu Abu-Sittah mengatakan, ia pergi untuk membantu di ruang gawat darurat. Di mana ia memasang tourniquet dan menyadarkan seorang pria yang kakinya patah dan seorang lagi yang terkena pecahan peluru di lehernya.
“Ini benar-benar pembantaian besar-besaran,” katanya. Seraya menambahkan bahwa para dokter tidak dapat berhenti karena situasi yang mendesak.
Jika jumlah korban jiwa akibat pemboman di rumah sakit yang berjumlah 200-300 orang ini terkonfirmasi, maka ini akan menjadi insiden paling mematikan di Gaza sejak serangan teror Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
Serangan
Leonard Rubinstein, seorang profesor kesehatan masyarakat Universitas John Hopkins yang telah mempelajari kekerasan terhadap fasilitas medis masa perang selama 25 tahun, mengatakan bahwa perkiraan jumlah korban tewas setidaknya 200 orang adalah yang tertinggi untuk satu insiden yang melibatkan rumah sakit yang dia ketahui.
Ia menambahkan, “jumlah serangan atau kekerasan terhadap fasilitas layanan kesehatan dalam konflik ini sangat signifikan,” kata Rubinstein.
Doctors Without Borders mengatakan pada platform X bahwa mereka “mengerikan.”
“Ini adalah pembantaian. Ini benar-benar tidak dapat diterima,” kata organisasi itu dalam sebuah pernyataan.
Organisasi Kesehatan Dunia juga mengatakan mereka mengutuk keras serangan itu.
“Rumah sakit itu beroperasi, dengan pasien, penyedia layanan kesehatan dan perawatan, serta pengungsi internal berlindung di sana. Laporan awal menunjukkan ratusan korban jiwa dan cedera,” katanya dalam sebuah pernyataan. (paa/ads)