Semasa hidup, Sayedee juga merupakan Wakil Presiden Partai Oposisi Jamaat-e-Islami, sebuah kelompok politik garis keras dengan banyak pengikut meskipun dilarang.
Partai tersebut tetap kontroversial karena mendukung kelanjutan persatuan Bangladesh dengan Pakistan. Selama perang saudara tahun 1971 yang brutal di negara tersebut.
Sayedee pun menjadi terkenal pada 1980-an setelah ia mulai berkhotbah di beberapa masjid utama negara mayoritas Muslim.
Di masa kejayaan Sayedee, ia mampu menarik ratusan ribu orang untuk mendengarkan pidatonya.
Protes Massal Usai Vonis
Keyakinannya satu dekade lalu oleh pengadilan kejahatan perang, menuai kritikan dari kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) karena beberapa kekurangan prosedural.
Sehingga, memicu protes paling mematikan dalam sejarah Bangladesh dengan setidaknya 100 orang tewas dalam bentrokan berikutnya.
Namun, sejumlah jamaat mengatakan puluhan ribu juga ditangkap dalam tindakan keras berikutnya.
Bahkan, baru tahun ini partai oposisi Jamaat-e-Islami diizinkan untuk menggelar demonstrasi publik kembali.
Di sisi lain, berita kematian Sayedee pada Senin malam membuat ribuan pendukung partainya turun ke jalan untuk meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah.
“Kami tidak akan membiarkan darah Sayedee sia-sia,” teriak pendukung.
Banyak yang mengkritik pemerintahan Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina, yang sedang mempersiapkan pemilihan umum pada Januari 2024.
Untuk meredam aksi unjuk rasa atas kematian Sayedee, polisi pun terpaksa membubarkan mereka dengan peluru karet serta gas air mata. (spm/ads)