“Saya ingin menegaskan bahwa pemikiran, konstruksi Pasal 100 itu bukan sesuatu yang tiba-tiba turun dari langit. Tetapi sudah lebih dari 10 tahun lalu,” terangnya.
“Pertimbangan mengenai masa percobaan 10 tahun itu ada dalam Putusan MK. Ketika pada tahun 2006, kalau saya tidak salah, pasal mengenai pidana mati diuji,” lanjutnya.
Guru besar hukum pidana UGM tersebut menjelaskan bahwa aturan tersebut merupakan jalan tengah bagi hukuman pidana mati di Indonesia.
“Aturan ini adalah caranya Indonesia untuk mencari win-win solution. Antara retensionis yang ingin mempertahankan pidana mati, dan paham abolisionis yang ingin menghapuskannya,” paparnya.
“Akhirnya Pemerintah dan DPR memutuskan pidana mati bukan lagi (termasuk) pidana pokok. Tetapi pidana khusus,” lanjut Eddy.
Berubahnya status tersebut melahirkan klausul percobaan 10 tahun sebagai salah satu kekhususannya. Kekhususan dalam pidana ini juga mengharuskan hakim menjatuhkan vonis pidana mati dengan sangat selektif.
Diketahui bahwa UU KUHP terbaru telah diundangkan pada 2 Januari 2023 lalu. Namun, UU KUHP terbaru ini baru akan berlaku efektif tiga tahun setelah diundangkan, yakni tanggal 2 Januari 2026.
Adapun Ferdy Sambo dijatuhi vonis pidana mati oleh hakim berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 yang memang masih berlaku.
Jika upaya hukum yang dapat menunda eksekusi bergulir hingga 2026, maka hukuman atas Sambo akan mengikuti aturan UU KUHP terbaru. (lth/fau)