ANDALPOST.COM – Serangan di Jenin yang dilakukan oleh militer Israel kini telah berakhir, Rabu (05/07/2023).
Kendati begitu, serangan brutal tersebut justru menimbulkan trauma bagi warga Palestina.
Seorang ibu yang memiliki empat anak, Fatima Salahat, setiap pagi bangun jam tujuh dan berjingkat ke dapur di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat.
Salahat kerap memulai aktivitasnya dengan diiringi musik ikon Lebanon Fairuz.
“The Way of Our Love, itu favoritnya,” kata Zeid (56), seorang paramedis sekaligus suami Fatima Salahat, Senin (10/07/2023).
Namun, kini kondisi Fatima justru memprihatinkan. Ia hanya bisa berbaring di ranjang rumah sakit.
Bahkan, Fatima tidak dapat berbicara atau berjalan setelah menderita serangan panik yang disebabkan oleh serangan militer Israel di Jenin.
Diketahui, lebih dari 1.000 tentara Israel menyerbu kamp yang penuh sesak pekan lalu. Yakni, saat roket dan rudal drone menyerang rumah-rumah pribadi serta infrastruktur publik.
Pada hari kedua penyerangan, Fatima mulai menunjukkan gejala serangan panik. Dia cepat marah, gugup, hingga tegang. Sehingga, dia terpaksa dilarikan ke rumah sakit umum di Jenin.
Sebagai buntut dari serangan, di mana pasukan Israel membunuh 12 warga Palestina, penduduk tidak hanya kehilangan tempat tinggal. Namun, juga bergulat dengan beban emosional berat.
Trauma Warga Akibat Serangan Pasukan Israel
Samah Jabr selaku kepala unit kesehatan mental otoritas palestina kemudian menjelaskan mengenai trauma yang dialami oleh warga Palestina.
“Di Barat, mereka menyebutnya gangguan stres pasca-trauma, atau PTSD,” kata Samah Jabr.
Serangan terbaru, kata para ahli, menambahkan lapisan lain pada trauma kolektif yang dialami oleh warga Palestina.
Alhasil, kian memperburuk luka yang belum sempat sembuh dari generasi ke generasi.
Israel menyebut serangan itu sebagai bentuk untuk membersihkan negaranya dari teroris.
Namun, para ahli PBB mengatakan serangan itu merupakan hukuman kolektif terhadap warga Palestina dan juga merupakan kejahatan perang.
Penduduk dewasa di kamp tersebut mengatakan mereka dihantui oleh mimpi buruk yang sama setelah serangan militer Israel beberapa waktu lalu.
Penduduk remaja yang baru saja mengalami serangan paling agresif di masa mudanya, kini meminta untuk diantar ke kamar mandi dan menolak untuk tidur sendirian.
“Trauma itu abadi, kronis, historis, dan antargenerasi,” kata Jabr.
Ia menilai serangan sengit itu juga mempengaruhi jiwa warga Palestina di luar Jenin, karena gambar yang menunjukkan ribuan orang mengungsi dari kamp di tengah malam hanya dengan pakaian di punggung mereka mengingatkan banyak orang tentang Nakba.
Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti ‘malapetaka’ mengacu pada 750.000 warga Palestina secara etnis dibersihkan dari kota dan desa mereka, untuk membuka jalan bagi pendirian Israel pada tahun 1948 silam.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.