Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

BRICS Kutuk Perang di Gaza sebagai Isyarat Kepada Barat

Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa pada KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan pada 24 Agustus 2023 (Foto: Alet Pretorius/Reuters)

ANDALPOST.COM — Para pemimpin negara-negara berkembang menyerukan diakhirinya perang Israel di Gaza, Selasa (21/11/2023).

Tak hanya itu, mereka juga berharap dapat dihentikan untuk meringankan krisis kemanusiaan yang memburuk dengan cepat di Jalur Gaza.

Dalam pertemuan puncak virtual yang dipimpin oleh Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, kelompok BRICS mengecam serangan terhadap warga sipil di Palestina dan Israel.

“Itu merupakan kejahatan perang,” terangnya.

“Kami mengutuk segala bentuk pemindahan paksa dan deportasi warga Palestina dari tanah mereka sendiri secara individu atau massal,” imbuhnya.

Ia juga menegaskan kembali bahwa pemindahan paksa dan deportasi warga Palestina. 

Baik di Gaza atau ke negara-negara tetangga, merupakan pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa serta kejahatan perang dan pelanggaran berdasarkan Hukum Humaniter Internasional.

BRICS terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, yang merupakan negara-negara berkembang.

Mereka ingin memberikan suara lebih besar dalam tatanan global yang telah lama didominasi oleh Amerika Serikat (AS) beserta sekutu-sekutu Barat.

Negara-negara ini sering dipandang sebagai pemimpin kebijakan internasional atau Global Selatan. Namun, bukan hanya lima negara tersebut yang buka suara mengenai perang Israel dan Palestina di Gaza.

Pasalnya, awal tahun ini BRICS telah sepakat untuk memperluas dan menambahkan Mesir, Ethiopia, Argentina, Arab Saudi, UEA, dan Iran sebagai anggota mulai tahun 2024.

Para pemimpin keenam negara ini juga berpartisipasi dalam pertemuan yang diserukan oleh Afrika Selatan. 

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres juga bergabung dalam pertemuan puncak tersebut.

Ringkasan ketua BRICS pada dasarnya menyoroti seruan yang semakin meningkat dari negara-negara Selatan untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza.

Konflik tersebut dimulai setelah serangan pada tanggal 7 Oktober terhadap komunitas Israel oleh kelompok bersenjata Hamas yang menyebabkan 1.200 orang terbunuh dan 240 lainnya disandera.

Sebagai tanggapan, Israel terus-menerus menembaki Gaza, menargetkan rumah sakit, sekolah dan kamp pengungsi dan membunuh lebih dari 13.000 orang, banyak dari mereka adalah anak-anak.

Padahal hal itu melanggar hukum internasional.

Sejak itu, jutaan orang di Afrika, Asia dan Timur Tengah melakukan demonstrasi untuk “Palestina Merdeka” dan menyerukan gencatan senjata. 

Para ahli di Afrika dan negara lain menuduh AS, Inggris, dan Uni Eropa munafik karena mengklaim sebagai benteng demokrasi dan ham sambil mendukung perang Israel di Gaza.

Meningkatnya Seruan

Meskipun ringkasan dari ketua tersebut tampak ringan, namun menurut Steven Gruzd, seorang analis di Institut Urusan Internasional Afrika Selatan (SAIIA), beberapa negara lebih agresif dalam presentasi mereka.

Presiden Rusia Vladimir Putin termasuk di antara para pemimpin BRICS yang berbicara dalam pertemuan khusus kelompok tersebut mengenai konflik antara Israel dan Hamas (Foto: Sergei Bobylev/dpa/picture aliansi)

Dalam pernyataan pembukaannya pada pertemuan tersebut, ketua BRICS saat ini, Presiden Ramaphosa dari Afrika Selatan, mengatakan bahwa tindakan Israel jelas melanggar hukum internasional.

“Perang di Gaza jelas jelas melanggar hukum internasional dan hukuman kolektif terhadap warga sipil Palestina oleh Israel adalah kejahatan perang. Sama saja untuk melakukan genosida,” ungkap Ramaphosa.

Ia juga mengklaim Hamas melanggar hukum internasional serta harus bertanggung jawab.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.