Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Kebencian Anti-LGBTQ Meningkat secara Online, Picu Tindak Kekerasan

Kebencian anti-LGBTQ kian meningkat di media sosial sehingga memicu ketakutan dan keresahatan. (Foto: Nicole Hester/The Tennesean via AP)

ANDALPOST.COM – Kebencian anti-LGBTQ kian meningkat secara online, sehingga memicu ketakutan akan lebih banyak terjadinya tindak kekerasan.

Pada bulan lalu di Colorado, seorang pria bersenjata membunuh lima orang di sebuah klub malam gay.

Viralnya kasus pembunuhan tersebut membuat warganet di media sosial turut berduka namun juga khawatir.

Sementara itu, di aplikasi bernama Gab yang populer dengan kelompok LGBTQ kerap membagikan pesan bernada bahagia.

“Saya suka bangun dengan berita bagus,” tulis seorang pengguna di Gab.

Tetapi, pengguna lain di platform itu yang anti-LGBTQ justru malah menyerukan lebih banyak kekerasan.

Sayangnya, kekerasan serta kebencian serupa tidak hanya terjadi di aplikasi Gab.

Di Twitter, YouTube, dan Facebook, peneliti serta advokat LGBTQ telah melacak peningkatan ujaran kebencian dan ancaman kekerasan yang ditujukan kepada orang, kelompok, dan acara LGBTQ. Sebagian besar diarahkan pada transgender.

Konten kekerasan serta ujaran kebencian meningkat usai anggota parlemen konservatif di beberapa negara bagian memperkenalkan tindakan anti-LGTBQ.

Bahkan mereka menargetkan ancaman bagi kelompok LGBTQ, serta rumah sakit, petugas kesehatan, perpustakaan, dan bisnis swasta yang mendukung kaum minoritas tersebut.

“Saya kira orang-orang tidak memahami keadaan bahaya yang kita alami saat ini,” ungkap wakil presiden senior di Kampanye Hak Asasi Manusia dan seorang pria transgender, Jay Brown.

“Banyak yang terjadi secara online, dan ancaman online berubah menjadi ancaman kekerasan nyata secara offline,” imbuhnya.

Rumah sakit di Boston, Pittsburgh, Phoenix, Washington, DC, dan kota-kota lain telah menerima ancaman bom serta pesan melecehkan lainnya usai klaim menyesatkan tersebar secara online tentang program perawatan transgender.

Di Tennessee, anggota bertopeng dari kelompok supremasi kulit putih baru-baru ini muncul di acara amal liburan di toko buku karena hiburan malam itu termasuk artis gay.

Pesta malam di klub khusus gay yang akan digelar Jumat (16/12/2022) juga menjadi sasaran ancaman.

“Dan mereka masih mengejar kita? Ini hanya kefanatikan dan kebencian pada saat ini, ”kata Jessica Patterson, salah satu penyelenggara acara.

“Mereka hanya harus membenci seseorang,” imbuh Patterson.

Konten transfobia yang menargetkan acara seperti Patterson hanyalah bagian dari konten kebencian tentang orang Yahudi, Muslim, wanita, orang kulit hitam, orang Asia, dan LGBTQ.

Sehingga, banyak anggota parlemen di Amerika Serikat (AS) dan negara lainnya mendorong peraturan yang lebih ketat mengenai keamanan di media sosial.

Kendati begitu, memang tidak ada penjelasan pasti terkait meningkatnya ujaran kebencian di media sosial.

Namun, tekanan sosial-ekonomi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, peningkatan polarisasi politik, dan kebangkitan gerakan sayap kanan diduga menjadi penyebab masalah tersebut.

“Saya telah melacak komunitas ekstremis yang dipicu oleh kebencian selama lebih dari 25 tahun, tetapi saya belum pernah melihat ujaran kebencian, apalagi seruan kekerasan seperti sekarang ini,” ulis peneliti ekstremisme Rita Katz.

Katz sendiri merupakan salah satu pendiri SITE Intelligence Group yang memantau situs Internet sayap kanan dan telah mengidentifikasi  banyaknya ancaman terhadap kelompok dan acara LGBTQ di AS dalam beberapa bulan terakhir.

SITE merilis berita pada hari Kamis (15/12/2022) mengenai kasus pembunuhan terhadap artis gay setelah salah satunya muncul di Gedung Putih saat penandatanganan Undang-Undang Penghormatan terhadap Perkawinan.

(SPM/FAU)