Manusia sebagai individu dan juga makhluk sosial tentunya tidak dapat lepas dari manusia lain beserta lingkungannya dalam menjalani hidup. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri, mereka akan selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Misalnya saja ketika seseorang yang sedang lapar lalu pergi ke warung makan, ia akan bertemu dengan penjual yang akan melayaninya untuk menyajikan makanan yang ingin dibeli oleh orang tersebut.
Faktanya sebelum menjual, penjual tersebut sudah pergi ke pasar dan bertemu pedagang di pasar untuk membeli segala bahan yang harus dimasak. Segala bahan pangan yang dijual di pasar pun sebelumnya didapatkan dari para petani yang sebelumnya memanen hasil kebun mereka. Siklusnya akan terus seperti itu, berputar dan tidak pernah putus.
Hasrat untuk hidup, bertahan dan berkembang, menjaga harga diri, serta menolong membuat setiap individu harus hidup di dalam suatu tatanan masyarakat. Sebutan masyarakat berasal dari kata bahasa Arab, yaitu “syaraka” yang memiliki arti ikut serta dan berpartisipasi.
Lee J. Carry (1970) berpendapat terkait pengertian masyarakat yaitu merujuk pada sekumpulan orang yang menetap bersama orang lainnya di beberapa relasi ruang serta mempunyai berbagai kepentingan dan nilai-nilai yang sama.
Dikutip oleh Abu Ahmadi, menurut Hasan Shadaly, masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia yang dengan naluriah dan tanpa sadar terikat secara kelompok dan golongan serta memiliki pengaruh kebatinan antar satu sama lain.
Masyarakat tidak muncul begitu saja secara tiba-tiba. Sekumpulan individu akan membentuk masyarakat apabila telah melalui berbagai proses yang tidak sebentar. Apalagi jika sekelompok individu tersebut ingin bergerak menuju masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang memiliki sebuah tatanan kehidupan bersama yang terdapat rasa adil di dalamnya dan menjunjung tinggi martabat manusia.
Ideal berasal dari bahasa Inggris yaitu “Idea” yang berarti cita-cita, angan-angan. Menurut Kamus Ilmiah Populer, “ideal” berarti sesuai dengan cita-cita, sempurna. Dengan kata lain, masyarakat ideal bisa memiliki pengertian sebagai masyarakat ideal yang sempurna dan diharapkan serta dicita-citakan oleh setiap individu.
Guna mencapai tingkat masyarakat yang ideal, individu harus dapat memanfaatkan kemajuan dan perkembangan teknologi di era disrupsi saat ini. Perkembangan teknologi telah memunculkan berbagai inovasi dan kemudahan dalam mengakses segala kebutuhan. Orang-orang sangat menikmati teknologi digital saat ini, jadi teknologi menguasai dunia sekarang.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata disrupsi adalah sebuah hal yang tercabut dari akarnya. Sedangkan pengertian disrupsi secara harafiah, dapat disebutkan bahwa disrupsi adalah sebuah fenomena yang di dalamnya muncul banyak perubahan atau lompatan besar, yang kemudian keluar dari tatanan hidup yang lama, dan memperbarui sistem lama menjadi suatu sistem baru.
Kemunculan disrupsi teknologi ini kemudian mendorong aktivitas dan kegiatan manusia untuk selalu mengarah pada percobaan teknologi digital. Saat ini peranan produk-produk teknologi, misalnya komputer dan internet, telah memainkan peran penting dalam praktek manajemen sumber daya manusia, sehingga berbagai kegiatan menjadi lebih efektif, dan efisien. Produk teknologi adalah sebuah potensi untuk digunakan dalam penerapan pengelolaan sumber daya manusia.
Bukan Hanya Kemajuan, Disrupsi Juga Bisa Menjadi Tantangan
Sejak memasuki awal tahun 2020, ramai orang yang mengatakan bahwa saat ini manusia hidup di era disrupsi. Memang, kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa perkembangan dunia teknologi sudah merambah ke segala bidang dan berbagai sisi kehidupan. Perkembangan teknologi tersebut kemudian melahirkan banyak hal dan inovasi baru.
Disrupsi teknologi diartikan sebagai perubahan mendasar akibat berkembangnya sistem teknologi digital, dimana teknologi digital atau robot mulai menggantikan dan mengubah peran dan peran kerja manusia. Kehadiran teknologi digital telah membawa berbagai perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia serta perubahan sistem yang ada di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Tanda era disrupsi yang paling dekat dengan keadaan kita saat ini yaitu ditandai dengan merebaknya Internet of Things (IoT) dan kebutuhan internet 5G. Manusia sebagai makhluk sosial semakin menunjukkan bahwa mereka ingin bisa berkomunikasi meski terhalang jarak dan waktu. Hal tersebut yang kemudian membuat internet memiliki peran penting yang banyak dipilih oleh masyarakat untuk tetap saling berhubungan, mengumpulkan suatu data, atau sekadar mencari hiburan.
Selain IoT, keberadaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) juga semakin mendominasi di berbagai bidang kehidupan manusia saat ini. Kecerdasan buatan diciptakan untuk mendeteksi suatu hal, seperti komputer yang dapat menemukan, mengingat, dan menyajikan data yang kemudian data tersebut diolah untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Tak berhenti sampai di situ, ramainya penggunaan robotika yang sangat cakap juga menyadarkan kita bahwa saat ini kita hidup di era disrupsi. Robotika yang tercipta dari mesin elektronik ini bisa berjalan dengan sendirinya untuk melakukan instruksi yang diperintahkan. Berbagai hal tersebut yang kemudian membentuk sebuah ancaman bagi kehidupan masyarakat. Mengapa? Hal tersebut disebabkan oleh mesin digital yang kian mumpuni akan menggantikan posisi dan peran manusia di berbagai bidang.
McKinsey Global Institute pada tahun 2017 memperhitungkan setidaknya pada tahun 2030 akan ada sebanyak 400 hingga 800 juta orang di dunia yang akan kehilangan pekerjaannya karena akan digantikan oleh robot dan AI.
Pernyataan tersebut memang menakutkan bagi sebagian besar orang, terutama para pekerja, para pencari kerja, atau mahasiswa yang akan terjun ke dunia kerja. Sebab, belum juga memasuki tahun 2030, pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah terjadi besar-besaran saat ini. Berdasarkan data Layoffs.fyi, sejak awal tahun hingga 23 November 2022 terdapat 850 startup dan perusahaan teknologi mapan di seluruh dunia yang melakukan PHK. Jumlah total karyawan yang dipecat mencapai 137 ribu orang.
Rhenald Kasali, seorang pakar bisnis, mengatakan bahwa gelombang PHK bukan hanya terjadi karena kondisi ekonomi makro, tetapi dipengaruhi oleh tren ‘bakar uang’ di kalangan startup, yakni menghabiskan modal untuk mendorong kegiatan promosi yang belum ada kepastian imbal hasilnya.
Hal tersebut karena konsumen sangat mudah tergiur oleh diskon, apalagi dengan kemudahan teknologi yang memudahkan para konsumen mengakses segala kemudahan fitur yang ditawarkan oleh e-commerce. Disrupsi yang selalu dikaitkan dengan kemunculan teknologi yang semakin berkembang dapat membentuk pola “gangguan” pada sistem dalam sebuah tatanan masyarakat.
Bisakah Menjadi Masyarakat Ideal di Tengah Penggunaan Teknologi Berlebih?
Penggunaan teknologi yang berlebihan kemudian memunculkan banyak hambatan di samping manfaatnya yang menguntungkan. Namun, jika kita melihat hambatan tersebut sebagai suatu hal yang hanya akan membatasi diri kita untuk menjadi lebih berkembang, maka kita akan semakin tertinggal di tengah kemajuan era disrupsi.
Segala hambatan yang ada, seharusnya bisa kita lihat sebagai tantangan. Sebuah hal yang bisa menantang diri kita untuk terus berinovasi dan menjadikan diri kita sebagai masyarakat ideal yang menjunjung tinggi keadilan serta martabat sebagai manusia.
Kita harus bisa melihat peluang untuk bisa menggeser hambatan tersebut menjadi sebuah tantangan. Jika sudah berhasil melewati tantangan tersebut, maka akan banyak keuntungan yang bisa didapatkan untuk diri kita sendiri maupun orang lain.
Misalnya saja dari fenomena PHK massal yang terjadi di Indonesia, kita bisa memanfaatkan kemajuan teknologi, seperti berjualan di e-commerce untuk mencari pundi-pundi uang, memanfaatkan sosial media untuk membuat konten edukatif, hiburan, dan lainnya untuk mengasah kreativitas diri, dan juga peningkatan skill dan kompetensi di era yang serba cepat ini.
Upaya mencapai masyarakat ideal, tentunya kita semua harus bekerja sama untuk saling memahami, menghormati, dan terbuka satu sama lain. Misalnya saja adanya generasi milenial yang memiliki keunggulan mudah beradaptasi pada pekerjaan, ingin serba cepat, dinamis, kreatif, melek teknologi, dan akrab dengan media sosial tentunya cocok untuk meregenerasi tatanan masyarakat untuk menghadapi kemajuan teknologi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa adanya generasi di atasnya yang meragukan dan menganggap generasi milenial belum pantas untuk menggantikan posisi generasi sebelumnya. Padahal, jika mereka bekerja sama, saling terbuka, dan percaya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat di era disrupsi akan menjadi sebuah peluang yang bermanfaat untuk masyarakat itu sendiri sehingga menghasilkan tatanan masyarakat ideal.
Penulis:
Miska Ithra, Mahasiswi UPN Veteran Jakarta