Proses Sebelum Adabya Pengakuan Pelestarian Hutan di Papua
Sebelum adanya pengakuan atas pelestarian hutan di Papua oleh masyarakat setempat, mereka justru mengalami proses panjang.
Dimulai sejak tahun 2016 silam, mulai muncul pengakuan secara hukum “hutan adat”.
Hukum tersebut berfungsi untuk mendukung hak penguasaan lahan dan mengelola sumber daya alam negara dengan lebih baik.
Hingga kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, yang mengawasi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, telah mengakui hutan adat lebih dari 100 suku, merealokasi 153.000 hektar (591 mil persegi) lahan.
Pada bulan Oktober lalu, Ogoney menjadi masyarakat adat pertama di provinsi Papua Barat yang memiliki hutan adat dan diakui pemerintah.
Hutan adat tersebut mencakup 6.299 hektar (63 mil persegi) hutan tropis dataran rendah, yang berisi spesies langka seperti burung cendrawasih dan kasuari, serta makhluk mirip emu.
“Saya sendiri berterima kasih kepada Tuhan atas pengakuan ini,” kata Yustina Ogoney, Camat Merdey yang mencakup seluruh desa Ogoney.
“Saya menaruh perhatian serius terhadap perlindungan hutan karena jika tidak ada hutan, akan berdampak besar bagi kami,” terang dia.
Awalnya, Ogoney memulai permohonan pengakuan tanah adat mereka setelah sebuah perusahaan kayu, Papua Satya Kencana (PASKA), diberikan konsesi di kabupaten tersebut.
“Saya melihat daerah milik marga lain di suku Moskona mengalami penebangan kayu besar-besaran oleh perusahaan,” kata Yustina, yang pada 2017 menjadi bupati.
“Hutan kami masih utuh, dan kami tidak ingin itu terjadi di sini,” ungkapnya.
Namun, itu bukanlah proses yang mudah. Banyak dari Ogoney tidak tahu tentang keberadaan atau pentingnya keputusan tentang pengakuan tanah adat.
Dibutuhkan beberapa kunjungan ke lokasi sebelum pemerintah memverifikasi permohonan tersebut.
“Pemerintah sangat lamban dalam memberikan pengakuan, terutama untuk orang Papua,” kata Sulfianto Alias dari Panah Papua, yang dengan dukungan Perkumpulan HuMa Indonesia, memimpin pemetaan partisipatif untuk Ogoney. (spm/lfr)